BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk menanggulangi masalah pertumbuhan penduduk. Gerakan nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melambangkan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya Indonesia. Hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukkan keluarga kecil, dalam rangka pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) langkah besar yang perlu dibangun selanjutnya adalah pembangunan keluarga kecil sejahtera (Wiknjosastro, 2002).
Tujuan gerakan KB Nasional adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran KB Nasional ialah: 1) Pasangan usia subur dengan prioritas PUS Muda dengan prioritas rendah, 2) Generasi muda dan purna PUS, 3) Pelaksanaan dan pengelola KB dan 4) Sasaran wilayah (Wiknjosastro, 2002).
Gerakan keluarga berencana Indonesia telah menjadi contoh bagaimana negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia dapat mengendalikan dan menerima gerakan keluarga berencana sebagai salah satu bentuk pembangunan keluarga yang lebih dapat dikendalikan untuk mencapai kesejahteraan. (Manuaba, 1999). Dalam mencapai sasaran NKKBS itu pernah dicanangkan konsep pancawarga artinya keluarga terdiri dari tiga anak sedangkan pengertian tersebut makin berkembang menjadi konsep catur warga yaitu hanya dua anak saja (Manuaba, 1999).
Pada umumnya pemerintah di negara-negara sedang berkembang paling banyak menggunakan metode kontrasepsi yang pemakainya perempuan. Distribusinya adalah pemakai pil 17,1 %, injeksi 15,2 %, IUD 10,3 %, Norplant 4,6 %, Tubaktomi 3,1 %, Vasektomi 0,7 % dan Kondom 0,9 % (Juliantoro, 1999). Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 2003 – 2006 peserta program keluarga berencana (KB) Indonesia hanya meningkat 0,5 % pertahun. Saat ini peserta KB hanya 62,5 % dari 45 juta PUS atau sekitar 28 juta PUS yang menjadi peserta KB aktif (http://www.pd persi.co.id).
Permasalahan pembangunan kependudukan dan keluarga berkualitas adalah masih tingginya laju pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk, masih tingginya tingkat kelahiran penduduk, hal ini ditandai dengan tingginya angka kelahiran Total Fertility Rate (TFR) pada tahun 2006 sebesar 2,78 rata – rata kelahiran pasangan usia subur dan diharapkan pada tahun 2010 sebesar 2,38 rata – rata kelahiran pasangan usia subur (http://serdangbedagaikab.go.id) .
Program KB memiliki dampak positif dalam membantu penurunan angka kematian ibu, epidemi HIV/AIDS, meningkatkan mutu gender, dan mempromosikan pendayagunaan kaum muda. Akses yang lebih baik untuk metode kontrasepsi yang aman dan terjangkau akan Mempercepat Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGS). Oleh karena itu sejak 2005 masalah kesehatan reproduksi dimasukkan menjadi salah satu indikator pencapaian MDGS. Jika tiap keluarga punya anak dua atau tiga, berarti program KB sudah berhasil (http://www.medianasional.com). Adapun penggunaan kontrasepsi tubektomi atau vasektomi dipandang sebagai upaya meghentikan kehamilan secara permanen, jadi sama dengan pengebirian, ini yang tidak boleh di lakukan karena bisa memutus keturunan (http://www.gaulislam.com).
Rendahnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), implant, Metode Operasional Wanita (MOW)/Tubektomi dan Metode Operasional Pria (MOP)/Vasektomi dikarenakan kurangnya pengetahuan serta kesadaran pasangan usia subur untuk menggunakan metode kontrasepsi ini, lemahnya ekonomi juga mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap pemakaian metode kontrasepsi tubektomi. (Bappenas.go.id)
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan dalam menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita takut siklus menstruasi normalnya berubah, karena mereka takut perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan juga dapat membatasi aktifitas keagamaan maupun budaya. Dinamika seksual dan kekuasaan antara pria dan wanita dapat menyebabkan penggunaan kontrasepsi terasa canggung bagi wanita. Dukungan suami mengenai keluarga berencana cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode keluarga berencana oleh istri. Berbagai budaya mendukung kepercayaan bahwa pria mempunyai hak akan fertilitas istri mereka, seperti di Papua Nugini dan Nigeria wanita tidak dapat memiliki kontrasepsi tanpa persetujuan suami (Klobinsky, 1997).
Berdasarkan hasil pra survei tanggal 24 Maret 2008 di Kota Metro pasangan usia suburnya berjumlah 25.136 orang dengan jumlah peserta KB aktifnya 18.585 (73, 93%), dan untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
0 komentar:
Posting Komentar