KOTAK PENCARIAN:

ANDA INGIN MENYIMPAN BLOG INI SILAHKAN KLIK +1

Kamis, 30 September 2010

Gambaran penatalaksanaan pemberian ASI pada ibu seksio sesaria di RSU

Gambaran penatalaksanaan pemberian ASI pada ibu seksio sesaria di RSU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Profil Kesehatan Kota Metro (2005) bayi yang mendapat ASI eksklusif 55,33% dari 810 bayi yang ada. Tingginya Angka Kematian Bayi dan rendahnya status gizi sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, menunjukkan bahwa peran Air Susu Ibu (ASI) sangat strategi, namun keadaan sosial budaya yang beraneka ragam menjadi tantangan peningkatan penggunaan ASI yang perlu diantisipasi (DepKes RI, 1994).
Data UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Found) menujukkan sekitar 30 ribu kematian anak balita di Indonesia setiap tahunnya, yang sebenarnya dapat di cegah melalui pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan sejak kelahiran bayi. Sementara itu bukti ilmiah baru yang mengungkapkan oleh jurnal Paediatries pada tahun 2006 seperti dikutip UNICEF mengungkapkan bahwa bayi yang diberi susu formula (susu bayi) memiliki kemungkinan untuk meninggalkan dunia pada bulan pertama kehidupannya 25 kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang disusui ibunya secara ASI eksklusif, yakni tanpa diberi minuman maupun makanan tambahan (www.antara.com).
Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 menunjukkan sedikit sekali ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif bagi bayinya sampai berumur 6 bulan, didapati data jumlah pemberian ASI eksklusif pada bayi dibawah usia dua bulan hanya mencakup 64% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertumbuhnya usia bayi yakni 46% pada bayi usia 2-3 bulan dan 14% pada bayi usia 4-6 bulan yang lebih memprihatinkan, 13% bayi dibawah dua bulan telah di beri makanan tambahan.
Manfaat ASI bagi bayi adalah untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi karena mempunyai susunan yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Manfaat psikologis yaitu memberikan rasa aman dan tentram pada anak, meningkatkan hubungan kasih sayang antara ibu dan anak, merangsang perkembangan psikomotik bayi.
ASI yang pertama kali keluar disebut kolostrum, kolostrum bukan hanya nutrisi sempurna bagi bayi, tetapi juga kandungannya yang amat kaya akan zat anti kuman yang melindungi bayi dari berbagai macam penyakit, kolostrum memiliki kandungan zat imun yang jauh lebih tinggi dari ASI matang (ASI setelah kolostrum) (http://www.lalecheleague.org/FAQ/KOLOSTRUM.htmi).
Hasil survey diruang kebidanan Rumah Sakit Umum A. Yani Metro pada bulan Januari-Februari 2007 terdapat 27 persalinan dengan seksio sesaria dan 80% ibu yang melahirkan seksio sesaria dengan narkose umur sadar dalam waktu tidak lebih dari 4 jam. Pemberian ASI pada ibu dengan seksio sesaria hanya 60%. Ternyata bayi yang di lahirkan dengan seksio sesaria tidak semua langsung diberi ASI segera setelah ibu sadar tetapi di beri susu formula. Berdasarkan data latar belakang inilah sebagai dasar penulis untuk melakukan penelitian tentang gambaran pemberian ASI pada ibu dengan operasi seksio sesaria di Rumah Sakit Umum A. Yani Metro.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan dalam penelitian ini adalah berikut “Bagaimanakah Gambaran Penatalaksanaan Pemberian ASI pada Ibu dengan Operasi Seksio Sesaria di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro Tahun 2007”.

C. Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian yaitu :
1. Jenis penelitian : Deskriptif.
2. Subjek penelitian : Ibu bersalin dengan seksio sesaria.
3. Objek penelitian : Gambaran Penatalaksanaan Pemberian ASI pada ibu seksio sesaria
4. Lokasi Penelitian : Ruang kebidanan Rumah Sakit Umum A. Yani Metro.
5. Waktu penelitian : 15 Juni – 28 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui bagaimana gambaran penatalaksanaan pemberian ASI pada ibu seksio sesaria di Rumah Sakit Umum A. Yani Metro.
2. Tujuan Khusus
a. Diperoleh gambaran tentang cara pemberian ASI pada Ibu seksio sesaria di ruang kebidanan RSU A. Yani Metro.
b. Diperoleh gambaran tentang lama pemberian ASI pada Ibu seksio sesaria di Ruang kebidanan RSU A. Yani Metro.
c. Diperoleh gambaran tentang posisi pemberian ASI pada Ibu seksio sesaria di ruang kebidanan RSU A. Yani Metro.
d. Diperoleh gambaran tentang frekuensi pemberian ASI pada Ibu seksio sesaria di ruang kebidanan RSU A. Yani Metro.

E. Manfaat Penelitian
1. Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro
Sebagai bahan masukan bidan atau tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro, sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang terbaik bagi pasien dengan tindakan seksio sesaria.
2. Instansi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
a. Sebagai bahan evaluasi terhadap teori yang telah diberikan kepada mahasiswa selama mengikuti perkuliahan di Politeknik Kesehatan Tanjungkarang Program Studi Kebidanan Metro.
b. Sebagai sumber bahan bacaan bagi perpustakaan di Instansi Pendidikan.
3. Peneliti
Dapat menambah wawasan pengetahuan dan keterampilan penulis dalam masalah pemberian ASI pada bayi ibu seksio sesaria.
4. Peneliti Lain
Dapat dijadikan bahan perbandingan untuk melakukan penelitian-penelitian lain atau yang serupa berkaitan dengan ASI pada ibu seksio sesaria dan dapat disempurnakan lagi.



Gambaran penatalaksanaan pemberian ASI pada ibu seksio sesaria di RSU

lihat artikel selengkapnya - Gambaran penatalaksanaan pemberian ASI pada ibu seksio sesaria di RSU

Gambaran penatalaksanaan manajemen aktif kala III oleh bidan di ruang bersalin RSUD

Gambaran penatalaksanaan manajemen aktif kala III oleh bidan di ruang bersalin RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Mortalitas dan morbilitas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di suatu negara. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada puncak produktivitasnya Untuk pertama kalinya masalah kematian ibu dibahas dalam forum konferensi internasional di Nairobi, Kenya. Konferensi tersebut diadakan karena WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin dan kasus tersebut 50% terjadi di negara berkembang (Prawirohardjo, 2002). Survey demografi kesehatan Indonesia tahun 1994 menunjukkan angka 390 per 100.000 kelahiran hidup. SDKI 1997 angka kematian ibu sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup dan hasil SDKI 2002-2003 307 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun menunjukkan penurunan yang bermakna, target nasional untuk menurunkan AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2010 masih jauh untuk di capai (Dinkes Kota Metro, 2005).
Tahun 2003, jumlah kematian ibu maternal yaitu 98 dari 186.248 ibu hamil dan meningkat menjadi 145 pada tahun 2004 dan tetap sama pada tahun 2005 sebanyak 245 kasus dari 165.347 kelahiran hidup (Profil Dinkes Propinsi Lampung, 2005). Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Metro di Kota Metro selama lima tahun terakhir yaitu tahun 2000 terdapat 1 kematian ibu dengan penyebab kematian satu kasus perdarahan postpartum (1/2.796 kelahiran hidup atau 36/100.000 kelahiran hidup), tahun 2001 terdapat 3 kematian ibu (3/2.596 kelahiran hidup). Tahun 2002 terdapat 3 kasus kematian ibu dengan penyebab kematian eklampsia, ruptur uteri dan perdarahan postpartum (3/3.212 kelahiran hidup atau 93/100.000) tahun 2003 terdapat 2 kematian ibu dengan penyebab kematian eklampsia postpartum dan perdarahan postpratum atau 73/100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2004 terdapat 1 kematian ibu dengan penyebab kamatian perdarahan postpartum atau 34/100.000 kelahiran hidup. Tahun 2005 terdapat 2 kematian ibu dengan penyebab kematian kelainan jantung (Dinkes Kota Metro, 2007).
Menurut Depkes (2002), penyebab kematian ibu terbanyak (90%) disebabkan oleh komplikasi obstetri yaitu perdarahan (60-70%). Salah satu pencegahannya adalah dengan melaksanakan manaemen aktif kala III. Tindakan manajemen aktif kala III akan lebih efektif dalam pelepasan plasenta bila dikombinasikan dengan penarikan tali pusat terkendali.
Selama dekade terakhir, penelitian klinis telah menunjukkan bahwa menejemen aktif kala III persalinan dapat menurunkan kejadian perdarahan postpartum , mengurangi lamanya kala III. Berdasarkan hal ini maka WHO telah merekomendasikan agar semua dokter dan bidan melaksanakan manajemen aktif kala III dengan alasan bahwa dengan mempersingkat lamanya waktu kala III dapat mengurangi banyaknya darah yang hilang sehingga dapat mengurangi angka kematian dan angka kesakitan yang berhubungan dengan perdarahan (WHO-JHPIGO, 2003).

Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu kurang dari satu jam. Sebagian besar kematian akibat perdarahan pascapersalinan terjadi pada beberapa jam pertama setelah kelahiran bayi. Karena alasan ini, penatalaksanaan kala III persalinan yang cepat dan tepat merupakan salah satu cara terbaik dan sangat penting untuk menurunkan angka kematian ibu, karena manajemen aktif kala III bertujuan untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga dapat mengurangi perdarahan pascapersalinan (Depkes, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya tahun 2006 di Puskesmas Way Urang Kecamatan Kalianda Lampung Selatan, didapatkan data bahwa penatalaksanaan manajemen aktif kala III pada tahap pemberian suntikan oksitosin oleh Bidan tidak dilakukan secara sistematis dan tidak lengkap (66,67%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar Bidan memberikan suntikan oksitosin sebelum bayi lahir, dimana seharusnya pemberianya dilakuka setelah bayi lahir. Untuk tahap penegangan tali pusat secara terkendali (PTT) oleh Bidan dilakukan oleh bidan secara sistematis dan lengkap (66,67%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar Bidan telah melakukan peregangan tali pusat terkendali. Selanjutnya pada pemijatan fundus uteri (masase) oleh Bidan dilakukan secara tidak sistematis dan tidak lengkap adalah 100%. Hal ini berarti bahwa seluruh bidan melakukan masase fundus uterus sebelum bayi lahir.
Sementara pada penelitian tahun 2004 di RSUD Pringsewu diketahui 53% Bidan sudah cukup paham tentang menejemen aktif kala III dan 27% termasuk katagori kurang. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya keterampilan Bidan dalam menerapkan manajemen aktif kala III. Sementara untuk pelaksanaannya 54% termasuk cukup, 13% termasuk katagori baik dan 33% katagori kurang.
Data prasurfey yang penulis peroleh (RSUD A. Yani Kota Metro, 2006) terdapat 7 ibu meninggal di ruang bersalin RSUD A. Yani metro dengan PPH / Post Partum Hemoragie (2 0rang), Sepsis Post Op (1 orang), DC / Decomp Cotris Post Op (1 orang), Hepatik APP (1 orang) dan Atonia Uteri (2 orang). Sementara untuk pelaksanaan Manajemen Aktif Kala III ada yang masih belum sesuai dengan standar, misalnya kurangnya keterampilan Bidan dalam melakukan masage fundus uteri dan masih ada yang memberikan suntikan oksitosin sebelum bayi lahir di mana seharusnya dilakukan setelah bayi lahir. Hal inilah yang melatarbelakakngi penulis untuk melakukan penelitian bagaimanakah keterampilan Bidan di RSUD A. Yani metro dalam menerapkan Manajemen Aktif Kala III, apakah sudah sesuai dengan standar atau belum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: ”Bagaimanakah gambaran penatalaksanaan Manajemen Aktif Kala III oleh Bidan di Ruang Bersalin RSUD A. Yani kota Metro tahun 2007?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
1. Jenis penelitian : Deskriptif
2. Subjek penelitian : Bidan yang bertugas di Ruang Bersalin RSUD A. Yani kota Metro.
3. Objek penelitian : Penerapan Manajemen Aktif Kala III oleh Bidan.
4. Tempat penelitian : Ruang Bersalin RSUD A. Yani Kota Metro
5. Waktu penelitian : Tanggal 6 Juni 2007 sampai 13 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran penerapan Manajemen Aktif Kala III oleh Bidan di Ruang Bersalin RSUD A. Yani kota Metro tahun 2007.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan penyuntikan oksitosin pada manajemen aktif kala III oleh Bidan di Ruang Bersalin RSUD A. Yani Kota Metro.
b. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan peregangan tali pusat terkendali oleh Bidan di Ruang Bersalin RSUD A. Yani kota Metro.
c. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan pengeluaran plasenta oleh Bidan di Ruang Bersalin RSUD A. Yani kota Metro
d. Diketahuinya gambaran penatalaksanaan masase uterus oleh Bidan di Ruang Bersalin RSUD A. Yani kota Metro.

E. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dalam penelitian ini :
1. Bagi Peneliti
Penulis mengharapkan KTI ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan mata kuliah Metodologi Penelitian khususnya bidang kebidanan, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan tentang Manajemen Aktif Kala III.
2. Bagi Lokasi Penelitian (Ruang Bersalin RSUD A. Yani Kota Metro)
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi RSUD A. Yani kota Metro sehingga dapat meningkatkan kemampuan bidan dalam menerapkan Manajemen Aktif Kala III.
3. Bagi Bidan di Ruang bersalin RSUD A. Yani
Dapat memperluas wawasan Bidan, sebagai bahan masukan agar dapat lebih meningkatkan kemampuan dalam menerapkan asuhan manajemen aktif kala III.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau referensi untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan Manajemen Aktif Kala III.


Gambaran penatalaksanaan manajemen aktif
kala III oleh bidan di ruang bersalin RSUD

lihat artikel selengkapnya - Gambaran penatalaksanaan manajemen aktif kala III oleh bidan di ruang bersalin RSUD

Gambaran penatalaksanaan kala IV persalinan normal oleh bidan praktek swasta di wilayah puskesmas

Gambaran penatalaksanaan kala IV persalinan normal oleh bidan praktek swasta di wilayah puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur usia disebabkan hal berkaitan dengan kehamilan dan persalinan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. Tahun 1996, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin. Di Asia Selatan, wanita berkemungkinan 1:18 meninggal akibat kehamilan atau persalinan selama kehidupannya di banyak negara Afrika 1:14. Sedangkan di Amerika Utara hanya 1:6366 lebih dari 50% kematian dinegara berkembang sebenarnya dapat dicegah dengan teknologi yang ada serta biaya relatif rendah (Saifuddin, 2002).
Angka Kematian Ibu diseluruh dunia masih cukup tinggi. Estimasi WHO tahun 2000 tentang AKI (Maternal Mortality Ratio/MMR per 100.000 kelahiran hidup) adalah sebagai berikut, diseluruh dunia sebesar 400, dinegara industri AKI cukup rendah yaitu sebesar 20, di Eropa sebesar 24. Untuk negara berkembang AKI masih cukup tinggi yaitu sebesar 440/100.000, di Afrika sebesar 830/100.000, di Asia Tenggara sebesar 210/100.000 (WHO, 2004 ). Untuk negara – negara ASEAN, AKI (per100.000 kelahiran hidup) sangat bervariasi seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Kamboja, Laos, Philipina, Myanmar, Thailand dan Vietnam. (Depkes RI, 2004).
Di Indonesia permasalahan Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi walaupun terjadi penurunan sekitar 25% dari kondisi semula yaitu 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1996 menjadi 334 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 berdasarkan Survei Demografi Kesehatan 1997. Namun angka tersebut masih tinggi 3-6 kali lebih besar dibandingkan negara- negara ASEAN, AKI di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup pada SDKI 2002-2003 atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab dan target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah angka kematian ibu menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup (www.google). Di provinsi Lampung cenderung terjadi peningkatan AKI sebesar 143/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 153/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 (Dinkes Provinsi Lampung, 2003).
Memperhatikan angka kematian ibu dan perinatal dapat diperkirakan bahwa sekitar 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas di saat sekitar persalinan (Saifuddin, 2001). Perdarahan menempati urutan tertinggi penyebab kematian ibu yaitu mencapai 30-35% (Manuaba, 1998).
Selama persalinan kala empat bahaya utama pada ibu adalah perdarahan postpartum. Keamanan ibu tergantung pada pengkajian yang sering dan waktu intervensi dari petugas yang siaga (Hamilton, 1995).

Sebagian besar kematian ibu pada periode paska persalinan terjadi pada 6 jam pertama setelah persalinan. Kematian ini disebabkan oleh infeksi, perdarahan dan eklampsia. Oleh karena itu, pemantauan selama dua jam pertama post partum sangat penting. Selama kala empat ini bidan harus meneruskan proses pernata-laksanaan kebidanaan yang telah mereka lakukan selama kala satu, dua dan tiga untuk memastikan ibu tersebut tidak menemui masalah apapun. (Pusdiknakes WHO JHPIEGO, 2003)
Di Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2002 angka kematian ibu (AKI) sejumlah 13 orang dari 20.162 kelahiran hidup (64,47/100.000 kh) dan pada tahun 2003 sebanyak 16 orang dari 25.140 kelahiran hidup (63,64/100.000 kh) dan pada tahun 2004 sebanyak 19 orang dari 30.118 kelahiran hidup (62,81/100.000 kh), hal ini menunjukkan adanya sedikit penurunan. Dengan penyebab klinis kematian terbesar adalah karena perdarahan yaitu sebesar 39 %. Angka kematian ibu bila dibandingkan Indikator Indonesia Sehat 2010, Kabupaten Lampung Selatan masih dibawah angka tersebut yaitu (150/100.000 kh). (Dinkes Lampung Selatan,2004 )
Berdasarkan data pada bulan Juni 2005 – Desember 2005 yang peneliti dapatkan di Puskesmas Way Urang Kecamatan Kalianda Lampung Selatan dari 521 persalinan normal ditemukan sebanyak 22 ibu yang mengalami perdarahan post partum, 5 diantara meninggal akibat perdarahan tersebut (Puskesmas Way Urang Kecamatan Kalianda Lampung Selatan, 2005).

Hal ini dapt dicegah jika penatalaksanaan Kala IV dilakukan secara benar oleh bidan. Berdasarkan pra survey pada tanggal 6 - 11 April 2006 di wilayah Puskesmas Way Urang Kecamatan Kalianda, terdapat 9 bidan.Setelah penulis melakukan observasi terhadap empat bidan dalam hal penatalaksanaan kala IV, hanya 1 (25%) bidan yang melaksanakan penatalaksanaan Kala IV secara benar, dan 3 (75%) bidan yang tidak melaksanakan penatalaksanaan Kala IV secara benar, dimana bidan tidak melakukan pemeriksaan kandung kemih, tidak melakukan pemeriksaan jumlah perdarahan, tidak melakukan pemeriksaan suhu, karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan Kala IV pada persalinan normal oleh Bidan Puskesmas Way Urang Kalianda Lampung Selatan.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka diperoleh rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana Gambaran Penatalaksanaan Kala IV Persalinan Normal oleh Bidan Puskesmas Way Urang Kalianda Lampung Selatan ?”.

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran penatalaksanaan Kala IV persalinan normal oleh bidan.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif.
2. Subyek Penelitian : Bidan
3. Objek Penelitian : Gambaran Penatalaksanaan Kala IV Persalinan Normal
4. Lokasi Penelitian : Kalianda Lampung Selatan
5. Waktu Penelitian : Pada bulan April s.d Mei 2006

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Bidan
Sebagai bahan evaluasi dalam melakukan penatalaksanaan Kala IV persalinan normal oleh Bidan Puskesmas Way Urang Kalianda Lampung Selatan Tahun 2006
2. Bagi Pengembangan Ilmu
Sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut khususnya dalam upaya peningkatan mutu penatalaksanaan Kala IV persalinan normal.

Gambaran penatalaksanaan kala IV persalinan normal
oleh bidan praktek swasta di wilayah puskesmas

lihat artikel selengkapnya - Gambaran penatalaksanaan kala IV persalinan normal oleh bidan praktek swasta di wilayah puskesmas

Gambaran penatalaksanaan anemia pada ibu hamil di wilayah kerja puskesmas

Gambaran penatalaksanaan anemia pada ibu hamil di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yang makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat khususnya pada kelompok resiko seperti bayi, balita, ibu hamil dan ibu besalin.
Upaya untuk menurunkan Angka Kematia Ibu serta peningkatan derajat kesehatan ibu menjadi perioritas utama dalam pembangunan kesehatan di Indonesia.
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, yaitu pada tahun 2002-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2005).
Angka kematian maternal Propinsi Lampung tahun 2005 sebanyak 145 kasus. (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2005) Sedangkan di Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2006 sebanyak 16 orang. (Laporan Kesga Lampung Timur, 2006).
Ini disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi juga disebabkan keadaan kesehatan dan gizi ibu yang rendah selama hamil serta rendahnya derajat kesehatan gizi wanita pada umumnya. Sedangkan di Kabupaten Lampung Timur penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan 10 orang, eklamsi 1 orang, inpeksi 1 orang, lain-lain 3 orang. (Laporan Kesga Lampung Timur, 2006).
Salah satu penyebab kematian ibu menurut WHO adalah anemia, hal ini dikarenakan wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah, sehingga apabila mengalami perdarahan baik itu antepartum atau postpartum akan berakibat fatal. (Ridwan Amiruddin, 2004. Dikutip dari med.unhas.online).
Pendapat tersebut didukung oleh fakta dan hasil penelitian Chi, dkk menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu adalah 70% untuk ibu-ibu anemia dan 19,7% untuk mereka yang bukan anemia.
Di Indonesia, prevalensi anemia dari seluruh ibu hamil tahun 1970-an adalah 46,5-70 %. Pada tahun 1999 didapatkan data anemia gizi pada ibu hamil sebesar 39,5%. (Ridwan Amiruddin, 2004. Dikutip dari med.unhas.online).
Data dari Propinsi Lampung menunjukkan bahwa prevalensia anemia pada ibu hamil 69,7 % pada tahun 2004 sedangkan di Kabupaten Lampung Timur prevalensi anemia pada ibu hamil 72,5 % pada tahun 2004. (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2005).
Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negatif seperti : gangguan dan hambatan pada masa pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak, kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa / ditransfer ke sel tubuh maupun sel otak. Pada ibu hamil dapat mengakibatkan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang dilahirkan.
Berbagai penyakit yang dapat timbul akibat anemia antara lain : abortus (keguguran), partus prematur, inertia uteri, infeksi baik intra partum maupun post partum, anemia yang sangat hebat dengan hb kurang dari 4 gr/dl dapat menyebabkan dekompensasi kordis, afibrinogenemia dan hipofibrinogenemia. (Mochtar, 1998).
Hal tersebut didukung oleh hasil studi di Kuala Lumpur memperlihatkan terjadinya 20 % kelahiran prematur bagi ibu yang tingkat hemoglobinnya dibawah 6,5gr/dl. Studi lain menunjukkan bahwa resiko kejadian BBLR, kelahiran prematur dan kematian perinatal meningkat pada wanita hamil dengan kadar hemoglobin kurang dari 1,4gr/dl. Pada usia kehamilan sebelum 24 minggu dibandingkan kontrol mengemukakan bahwa anemia merupakan salah satu faktor kehamilan dengan resiko tinggi. (Ridwan Amiruddin, 2004. Dikutip dari med.unhas.online).
Hasil konsepsi pada kehamilan dengan anemia memberi pengaruh kurang baik, seperti : kematian mudigah, kematian perinatal, prematuritas, dapat terjadi cacat bawaan, cadangan besi kurang, kematian janin dalam kandungan, kematian janin waktu lahir (stillbirth). (Mochtar, 1998).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan menurut sistem pencatatan dan pelaporan KIA Puskesmas Way Jepara pada bulan Maret tahun 2007 menunjukan bahwa dari jumlah kunjungan ibu hamil 78 orang, 22 orang (28,20%) diantaranya menderita anemia.
Dari sejumlah ibu hamil yang mengalami anemia, semua memeriksakan kehamilan pada tenaga kesehatan di puskesmas. Dan sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang penatalaksanaan anemia pada ibu hamil di wilayah Kabupaten Lampung Timur (Puskesmas Way Jepara).
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Gambaran Penatalaksanaan Anemia Pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja PKM Way Jepara Kecamatan Way Jepara Lampung Timur Tahun 2007.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Gambaran Penatalaksanaan Anemia Pada Ibu hamil Di Wilayah PKM Way Jepara Kecamatan Way Jepara Lampung Timur Tahun 2007 ?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Di dalam penulisan ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Deskriptif
2. Subyek Penelitian : Tenaga kesehatan yang melakukan penatalaksanaan anemia pada ibu hamil di PKM Way Jepara
3. Objek Penelitian : Gambaran penatalaksanaan anemia pada ibu hamil
4. Lokasi Penelitian : PKM Way Jepara Lampung Timur
5. Waktu Penelitian : 14 Mei 2007 s/d 20 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran penatalaksanaan anemia pada ibu hamil di Puskesmas Way Jepara tahun 2007.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran pemberian teblet Fe pada ibu hamil dengan anemia di PKM Way Jepara.
b. Diketahuinya gambaran penyuluhan gizi pada ibu hamil dengan anemia di PKM Way Jepara.
c. Diketahuinya gambaran pemeriksaan kadar Hb pada kunjungan pertama dan awal trisemester III pada ibu hamil dengan anemia di PKM Way Jepara.
d. Diketahuinya gambaran penyuluhan minuman yang menghambat absorbsi Fe pada ibu hamil dengan anemia di PKM Way Jepara.
e. Diketahuinya gambaran penyuluhan obat-obatan yang menghambat absorbsi pada ibu hamil dengan anemia di PKM Way Jepara.
f. Diketahuinya gambaran pelaksanaan rujukan kesehatan untuk pemeriksaan infeksi parasit / cacing pada ibu hamil dengan anemia di PKM Way Jepara.
g. Diketahuinya gambaran penyuluhan tentang konsumsi tablet Fe sekama 4-6 bulan postpartum pada kehamilan di PKM Way Jepara.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Peneliti, dapat mengetahui gambaran penatalaksanaan anemia pada ibu hamil.
2. Tempat Penelitian, sebagai masukan dalam upaya peningkatan pelayanan terhadap ibu hamil (terutama dengan anemia).
3. Pengembangan Program KIA di wilayah PKM Way Jepara Kecamatan Way Jepara Lampung Timur.
4. Pengembangan ilmu kebidanan terutama dalam studi penatalaksanaan anemia defisiensi besi pada ibu hamil.

Gambaran penatalaksanaan anemia pada ibu hamil di wilayah kerja puskesmas

lihat artikel selengkapnya - Gambaran penatalaksanaan anemia pada ibu hamil di wilayah kerja puskesmas

Gambaran penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal oleh bidan di ruang kebidanan RSUD

Gambaran penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal oleh bidan di ruang kebidanan RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai kendala dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya dalam bidang kesehatan. Hal itu tampak antara lain dari masih tingginya kelahiran dan kematian neonatal. Setiap tahun diperkirakan terdapat sejumlah 4.608.000 bayi dilahirkan dan 100.454 bayi diantaranya ternyata meninggal dunia pada neonatal atau sebelum menginjak usia sebulan, dengan kata lain setiap 5 menit satu bayi meninggal oleh berbagai sebab (Depkes RI, 2003).
Pelayanan kesehatan terutama untuk neonatal oleh tenaga kesehatan masih rendah sehingga keterampilan tenaga kesehatan perlu selalu ditingkatkan, salah satunya adalah menetapkan dan melaksanakan cara penyelesaian masalah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, serta menilai hasil yang dicapai dalam menyusun rencana tindakan selanjutnya (Saifuddin, 2002)
Pada dasarnya kurang baiknya penanganan 6 jam pertama pada bayi baru lahir menyebabkan kelainan yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup, bahkan kematian. Misalnya sebagai akibat hipotermi pada bayi baru lahir dapat terjadi cold stress yang selanjutnya dapat menyebabkan hipoksia dan mengakibatkan kerusakan otak. Akibat selanjutnya adalah perdarahan otak, syok dan beberapa bagian tubuh mengeras dan keterlambatan tumbuh kembang, contoh lain misalnya kurang baiknya pembersihan jalan nafas waktu lahir dapat menyebabkan masuknya cairan lambung kedalam paru-paru yang mengakibatkan kesulitan bernapas, kekurangan zat asam dan apabila hal ini berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan otak, kerusakan otak, dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang (Saifuddin, 2002).
Berdasarkan penelitian WHO diseluruh dunia, kematian bayi khususnya neonatal sebesar 10.000.000 jiwa per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa angka kematian bayi baru lahir masih sangat tinggi (Manuaba, 1998).
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, Angka Kematian Bayi (AKB), khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal) masih berada pada kisaran 20 per 1000 kelahiran hidup. Pelaksanaan ”Making Pregnancy Safer (MPS)”, target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah menurunkan angka kematian bayi baru lahir menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2004).
Sebagai indikator derajat kesehatan masyarakat, kematian neonatal pada umur 0-28 hari yang seharusnya 45 per 1.000 kelahiran, tahun 2006 ditemukan 861 kasus. Penyebab kematian bayi di Lampung, disebabkan karena kasus asfiksia dengan jumlah 199 kasus (31%), berat badan lahir rendah sebanyak 226 kasus (36%), tetanus neonatorum sebanyak 2 kasus dan penyebab lain 210 kasus (33%) (Wiwiek.depkes.go.id, 2004).
Ditinjau dari pertumbuhan dan perkembangan bayi, periode neonatal merupakan periode yang paling kritis. Pencegahan terhadap infeksi, mempertahankan suhu tubuh, membebaskan jalan nafas, serta pemberian ASI terutama kolostrum merupakan usaha dalam menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB). Neonatus pada minggu-minggu pertama sangat dipengaruhi oleh kondisi ibu pada waktu hamil dan melahirkan (Saifuddin, 2002).
Hasil pra survei yang dilakukan pada bulan Maret 2008, dari catatan Medical Record di RSUD Ahmad Yani Metro, didapatkan data bayi lahir hidup pada tahun 2007 sejumlah 776 bayi. Berdasarkan data tersebut terdapat bayi yang mengalami asfiksia sebesar 43 kasus (5,54%) sedangkan bayi yang mengalami hipotermia sebesar 37 kasus (4,77%) dan dari hasil pengamatan 15 bidan terdapat 6 bidan yang tidak melakukan cuci tangan sebelum tindakan pertolongan persalinan.
Ditemukan bayi baru lahir mengalami asfiksia dan hipotermia diatas, kemungkinan merupakan akibat bila salah satu penatalaksanaan 6 jam pertama pada bayi baru lahir tidak dilakukan, sehingga diantaranya dapat menimbulkan asfiksia dan hipotermia yaitu dikarenakan kurang baiknya pembersihan jalan nafas, pencegahan infeksi yang tidak terlaksana dan suhu tubuh yang tidak terjaga. Asfiksia dan hipotermia pada bayi dapat dicegah salah satunya dapat dilakukan penatalaksanaan bayi baru lahir normal dengan baik. Atas dasar itulah penulis ingin melakukan penelitian tentang penatalaksanaan 6 jam pertama pada bayi baru lahir normal. Menurut masalah yang terjadi, penulis berminat melakukan penelitian di Ruang Kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro tentang bagaimana penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal oleh Bidan di Ruang Kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro tahun 2008.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini “Bagaimanakah penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal oleh Bidan di Ruang Kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro tahun 2008.”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Jenis penelitian : Deskriptif
2. Subyek penelitian : Bidan yang bertugas di Ruang Kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro
3. Obyek penelitian : Penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal
4. Lokasi penelitian : Ruang Kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro
5. Waktu penelitian : 4-18 Juni 2008

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini yaitu mengetahui gambaran penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal oleh Bidan di Ruang Kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada penelitian ini meliputi :
a. Diketahuinya pencegahan infeksi merupakan langkah penatalaksanaan 6 jam pertama pada bayi baru lahir normal.
b. Diketahuinya pencegahan kehilangan panas merupakan langkah penatalaksanaan 6 jam pertama pada bayi baru lahir normal.
c. Diketahuinya pembersihan jalan nafas merupakan langkah penatalaksanaan 6 jam pertama pada bayi baru lahir normal.
d. Diketahuinya pemberian ASI segera setelah bayi baru lahir merupakan langkah penatalaksanaan 6 jam pertama pada bayi baru lahir normal.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat pada penelitian ini yaitu :
1. Bagi Peneliti
Mengetahui dengan jelas mengenai penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal, menambah wawasan dan bahan penerapan ilmu yang telah didapat.
2. Bagi Bidan di Ruang Kebidanan
Sebagai bahan masukan mengenai penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

3. Bagi Institusi Prodi Kebidanan Metro
Menambah referensi tentang penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal bagi mahasiswa Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Prodi Kebidanan Metro.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan referensi atau bacaan bagi peneliti lain dikemudian hari terutama untuk meneliti hal-hal yang belum terungkap dalam penelitian ini.

Gambaran penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal
oleh bidan di ruang kebidanan RSUD

lihat artikel selengkapnya - Gambaran penatalaksanaan 6 jam pertama bayi baru lahir normal oleh bidan di ruang kebidanan RSUD

Rabu, 29 September 2010

IMPLIKASI PSIKOSOSIAL DALAM KEPERAWATAN KRITIS

PENDAHULUAN

Aspek psikososial dari sakit kritis merupakan suatu tantangan yang unik bagi perawat pada keperawatan kritis. Perawat harus secara seimbang dalam memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun kliennya dalam suatu lingkungan yang dapat menimbulkan stress dan dehumanis. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan.

FENOMENA STRES

ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan stress, tidak hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman yang baik tentang stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit keperawatan kritis. Pemahaman ini dapat memungkinkan perawat untuk mengurangi efek destruktif stress dan meningkatkan potensi positif dari stress baik pada pasien dan dirinya sendiri.

Stres

Stress didefinisikan sbg respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang dialami individu yang diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Stres merupakan suatu fenomena komplek, dimana sekumpulan komponen saling berinteraksi dan bekerja serentak. Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem, maka keseluruhan sistem dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah menyebabkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada sistem, maka terjadilah stress. Individu kemudian memobilisasi sumber-sumber koping untuk mengatasi stress dan mengembalikan keseimbangan. Idealnya, stress bergabung dengan perilaku koping yang tepat akan mendorong suatu perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi kemampuan koping seseorang, maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi.

Stresor

Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah individu dan berakibat pada terjadinya fenomena stress (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Sumber stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal, psikososial atau masyarakat. Stressor biofisik antara lain organisme infeksius, proses penyakit atau nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh stressor psikososial adalah harga diri yang rendah, masalah hubungan interpersonal, dan krisis perkembangan. Stressor ini berasal dari masyarakat luas seperti fluktuasi ekonomi polusi dan teknologi tinggi.

Bagaimana orang mengalami suatu stressor tergantung pada persepsinya tentang stressor dan sumber kopingnya. Stress juga merupakan tambahan (additive). Jika seseorang mendapat serangan stressor yang multipel, maka respon stress akan lebih hebat.

Respon stres

Rspon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau stressor social. Hans Selye dalam Emanuelsen & Rosenlicht (1986) mengemukakan temuanya tentang stress kedalam suatu model stress yang disebut general adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri atas 3 tahap yaitu (a) alarm respon, (b) stage of resistance dan stage of exhaustion.

Alarm respon. Merupakan tahap pertama dan ditandai oleh respon cepat, singkat, melindungi/memelihara kehidupan dimana merupakan aktivitas total dari system saraf simpatis. Tahap ini sering disebut dengan istilah menyerang atau lari (fight-or-flight response).

Stage of resistance. Merupakan tahap kedua, dimana tubuh beradaptasi terhadap ketidakseimbangan yang disebabkan oleh stressor. Tubuh bertahan pada tahap ini sampai stressor yang membahayakan hilang dan tubuh mampu kembali kekeadaan homeostasis. Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan untuk koping, maka dapat terjadi tahap yang ketiga yaitu tahap kelelahan.

Stage of exhaustion. Saat semua energi telah digunakan untuk koping, maka tubuh mengalami kelelahan dan berakibat pada terjadinya sakit fisik, gangguan psikososial dan kematian.

KLIEN

Klien yang sakit dan harus masuk ke ruang ICU tidak saja bertambah menderita akibat stress sakit fisiknya tetapi juga stress akibat psikososialnya. Konsekuensinya, perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada unit keperawatan kritis didesign untuk memelihara atau mengembalikan semua fungsi fisik vital dan fungsi-fungsi psikososial yang terganggu oleh keadaan sakitnya.

Respon psikososial

Respon psikososial klien terhadap pengalaman keperawatan kritis mungkin dimediasi oleh fenomena internal seperti keadaan emosional dan mekanisme koping atau oleh fenomena eksternal seperti kuantitas dan kualitas stimulasi lingkungan.

Reaksi emosional. Intensitas reaksi emosional dapat mudah dipahami jika menganggap bahwa ICU adalah tempat dimana klien berusaha menghindari kematian. Klien dengan keperawatan kritis memperlihatkan reaksi emosional yang dapat diprediksi dimana mempunyai cirri-ciri yang umum, berkaitan dengan sakitnya. Takut dan kecemasan secara umum adalah reaksi pertama yang tampak. Klien mungkin mengalami nyeri yang menakutkan, prosedur yang tidak nyaman, mutilasi tubuh, kehilangan kendali, dan/atau meninggal.

Depresi seringkali muncul setelah takut dan kecemasan. Depresi seringkali merupakan respon terhadap berduka dan kehilangan.pengalaman kehilangan dapat memicu memori dimasa lalu muncul kembali dengan perasaan sedih yang lebih hebat.

Marah dapat terjadi setelah atau selama depresi. Seringkali marah menyembunyikan adanya depresi dan dapat mencegah klien jatuh ke dalam depresi yang lebih dalam. Klien dapat merasa marah atau benci tentang sakitnya dan seringkali mengeluh bahwa hidup tidaklah adil.

Mekanisme koping

Mekanisme koping merupakan skumpulan strategi mental baik disadari maupun tidak disadari yg digunakan untuk menstabilkan situasi yang berpotensi mengancam dan membuat kembali ke dalam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Strategi koping klien merupakan upaya untuk menimbulkan stabilitas emosional, menguasai lingkungan, mendefinisikan kembali tugas/tujuan hidup, dan memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh karena sakit/penyakit. Beberapa contoh perilaku koping adalah humor, distraksi, bertanya untuk suatu informasiberbicara dengan yang lain tentang keluhan/perasaan-perasaannya, mendefinisikan kembali masalah kedalam istilah yang lebih disukai, menghadapi masalah dengan dengan melakukan beberapa tindakan, negosiasi kemungkinan pilihan/alternatif, menurunkan ketegangan dengan minum, makan atau menggunakan obat, menarik diri, menyalahkan seseorang atau sesuatu, menyalahkan diri sendirimenghindar dan berkonsultasi dengan ahli agama.

DAFTAR PUSTAKA

Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. (1986). Handbook of critical care nursing. New York: A Wiley Medical Publication.

http://askep-askeb.cz.cc/

lihat artikel selengkapnya - IMPLIKASI PSIKOSOSIAL DALAM KEPERAWATAN KRITIS

IMPLIKASI PSIKOSOSIAL DALAM KEPERAWATAN KRITIS

PENDAHULUAN

Aspek psikososial dari sakit kritis merupakan suatu tantangan yang unik bagi perawat pada keperawatan kritis. Perawat harus secara seimbang dalam memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun kliennya dalam suatu lingkungan yang dapat menimbulkan stress dan dehumanis. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan.

FENOMENA STRES

ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan stress, tidak hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman yang baik tentang stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit keperawatan kritis. Pemahaman ini dapat memungkinkan perawat untuk mengurangi efek destruktif stress dan meningkatkan potensi positif dari stress baik pada pasien dan dirinya sendiri.

Stres

Stress didefinisikan sbg respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang dialami individu yang diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Stres merupakan suatu fenomena komplek, dimana sekumpulan komponen saling berinteraksi dan bekerja serentak. Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem, maka keseluruhan sistem dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah menyebabkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada sistem, maka terjadilah stress. Individu kemudian memobilisasi sumber-sumber koping untuk mengatasi stress dan mengembalikan keseimbangan. Idealnya, stress bergabung dengan perilaku koping yang tepat akan mendorong suatu perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi kemampuan koping seseorang, maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi.

Stresor

Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah individu dan berakibat pada terjadinya fenomena stress (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Sumber stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal, psikososial atau masyarakat. Stressor biofisik antara lain organisme infeksius, proses penyakit atau nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh stressor psikososial adalah harga diri yang rendah, masalah hubungan interpersonal, dan krisis perkembangan. Stressor ini berasal dari masyarakat luas seperti fluktuasi ekonomi polusi dan teknologi tinggi.

Bagaimana orang mengalami suatu stressor tergantung pada persepsinya tentang stressor dan sumber kopingnya. Stress juga merupakan tambahan (additive). Jika seseorang mendapat serangan stressor yang multipel, maka respon stress akan lebih hebat.

Respon stres

Rspon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau stressor social. Hans Selye dalam Emanuelsen & Rosenlicht (1986) mengemukakan temuanya tentang stress kedalam suatu model stress yang disebut general adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri atas 3 tahap yaitu (a) alarm respon, (b) stage of resistance dan stage of exhaustion.

Alarm respon. Merupakan tahap pertama dan ditandai oleh respon cepat, singkat, melindungi/memelihara kehidupan dimana merupakan aktivitas total dari system saraf simpatis. Tahap ini sering disebut dengan istilah menyerang atau lari (fight-or-flight response).

Stage of resistance. Merupakan tahap kedua, dimana tubuh beradaptasi terhadap ketidakseimbangan yang disebabkan oleh stressor. Tubuh bertahan pada tahap ini sampai stressor yang membahayakan hilang dan tubuh mampu kembali kekeadaan homeostasis. Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan untuk koping, maka dapat terjadi tahap yang ketiga yaitu tahap kelelahan.

Stage of exhaustion. Saat semua energi telah digunakan untuk koping, maka tubuh mengalami kelelahan dan berakibat pada terjadinya sakit fisik, gangguan psikososial dan kematian.

KLIEN

Klien yang sakit dan harus masuk ke ruang ICU tidak saja bertambah menderita akibat stress sakit fisiknya tetapi juga stress akibat psikososialnya. Konsekuensinya, perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada unit keperawatan kritis didesign untuk memelihara atau mengembalikan semua fungsi fisik vital dan fungsi-fungsi psikososial yang terganggu oleh keadaan sakitnya.

Respon psikososial

Respon psikososial klien terhadap pengalaman keperawatan kritis mungkin dimediasi oleh fenomena internal seperti keadaan emosional dan mekanisme koping atau oleh fenomena eksternal seperti kuantitas dan kualitas stimulasi lingkungan.

Reaksi emosional. Intensitas reaksi emosional dapat mudah dipahami jika menganggap bahwa ICU adalah tempat dimana klien berusaha menghindari kematian. Klien dengan keperawatan kritis memperlihatkan reaksi emosional yang dapat diprediksi dimana mempunyai cirri-ciri yang umum, berkaitan dengan sakitnya. Takut dan kecemasan secara umum adalah reaksi pertama yang tampak. Klien mungkin mengalami nyeri yang menakutkan, prosedur yang tidak nyaman, mutilasi tubuh, kehilangan kendali, dan/atau meninggal.

Depresi seringkali muncul setelah takut dan kecemasan. Depresi seringkali merupakan respon terhadap berduka dan kehilangan.pengalaman kehilangan dapat memicu memori dimasa lalu muncul kembali dengan perasaan sedih yang lebih hebat.

Marah dapat terjadi setelah atau selama depresi. Seringkali marah menyembunyikan adanya depresi dan dapat mencegah klien jatuh ke dalam depresi yang lebih dalam. Klien dapat merasa marah atau benci tentang sakitnya dan seringkali mengeluh bahwa hidup tidaklah adil.

Mekanisme koping

Mekanisme koping merupakan skumpulan strategi mental baik disadari maupun tidak disadari yg digunakan untuk menstabilkan situasi yang berpotensi mengancam dan membuat kembali ke dalam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Strategi koping klien merupakan upaya untuk menimbulkan stabilitas emosional, menguasai lingkungan, mendefinisikan kembali tugas/tujuan hidup, dan memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh karena sakit/penyakit. Beberapa contoh perilaku koping adalah humor, distraksi, bertanya untuk suatu informasiberbicara dengan yang lain tentang keluhan/perasaan-perasaannya, mendefinisikan kembali masalah kedalam istilah yang lebih disukai, menghadapi masalah dengan dengan melakukan beberapa tindakan, negosiasi kemungkinan pilihan/alternatif, menurunkan ketegangan dengan minum, makan atau menggunakan obat, menarik diri, menyalahkan seseorang atau sesuatu, menyalahkan diri sendirimenghindar dan berkonsultasi dengan ahli agama.

DAFTAR PUSTAKA

Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. (1986). Handbook of critical care nursing. New York: A Wiley Medical Publication.

http://askep-askeb.cz.cc/

lihat artikel selengkapnya - IMPLIKASI PSIKOSOSIAL DALAM KEPERAWATAN KRITIS

CARA MERAWAT PASIEN HALUSINASI


PENGERTIAN
Hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsang internal pikiran dan rangsang eksternal (dunia luar)

PROSES TERJADI HALUSINASI
Halusinasi berkembang melalui 4 fase:
Fase pertama
Klien mengalami stress, cemas, perasa-an perpisahan, kesepian yang memun-cak dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Cara ini hanya menolong sementara.
Fase kedua
Kecemasan meningkat, melamun dan berpikir sendiri jadi domimnan. Mjulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu ia tetap dapat mengontrol.
Fase ketiga
Bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan nengontrol klien. Klien jadi terbiasa dan tidak berdaya mengontrol halusinasinya.
Fase keempat
Halusinasi berubah menjadi mengan-cam, memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya hi-lang kontrol dan tidak dapat berhu-bungan secara nyata dengan orang lain di lingkungannya.

TANDA-TANDA HALUSINASI
Menarik diri. Tersenyum sendiri duduk terpaku. Bicara sendiri. Memandang satu arah. Menyerang. Tiba-tiba marah. Gelisah.

JENIS GANGGUAN HALUSINASI
Halusinasi Dengar
Dengar suara membicarakan, mengejek, menertawakan, mengancam, tidak ada sumbernya disekitar.
Halusinasi Lihat
Melihat pemandangan, orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada, tetapi klien yakin ada.
Halusinasi Penciuman
Mengatakan mencium bau bunga keme-nyan dan lain-lain yang tidak dirasakan oleh orang lain dan tidak ada sumber-nya.
Halusinasi Kecap
Merasa mengecap sesuatu rasa dimulut tetapi tidak ada.
Halusinasi Raba
Merasa ada binatang merayap pada kulit tetapi tidak ada.

PERANSERTA KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN HALUSINASI
Bantuan mengenal halusinasi

  1. Bina hubungan saling percaya
  2. Diskusikan kapan muncul, situasi yang menyebabkan (jika sendiri), isi, frekuensi.

Meningkatkan kontak dengan realitas

  1. Bicara tentang topik yang nyata, tidak mengikuti isi halusinasi.
  2. Bicara dengan klien secara sering dan singkat.
  3. Buat jadual kegiatan seharian untuk menghindari kesendirian.
  4. Ajak bicara jika tampak klien se-dang berhalusinasi.
  5. Diskusikan hasil observasi anda.

Bantu menurunkan kecemasan

  1. Temani, cegah isolasi dan menarik diri.
  2. Terima halusinasi klien tanpa men-dukung dan menyalahkan. (Misal: “Saya percaya anda mendengar te-tapi saya sendiri tidak mendengar-nya.”)
  3. Beri kesempatan untuk mengung-kapkan
  4. Tetap hangat, empati, kalem dan le-mah lembut.

Mencegah klien melukai diri sendiri dan orang lain.

  1. Lakukan perlindungan
  2. Kontak yang sering secara personal

http://askep-askeb.cz.cc/
lihat artikel selengkapnya - CARA MERAWAT PASIEN HALUSINASI

ASKEP CURIGA

A. Proses terjadinya masalah.
Prilaku curiga merupakan gangguan berhubungan dengan orang lain dan lingkungan yang ditandai dengan persaan tidak percaya dan ragu-ragu. Prilaku tersebut tampak jelas saat individu berinteraksi dengan orang lain atau lingkungannya. Prilaku curiga merupakan prilaku proyeksi terhadap perasaan ditolak, ketidakadekuatan dan inferiority. Ketika klien kecemasannya meningkat dalam merespon terhadap stresor, intra personal, ekstra personal dan inter personal. Perasaan ketidak nyamanan di dalam dirinya akan diproyeksikan dan kemudian dia akan merasakan sebagai ancaman/ bahaya dari luar. Klien akan mempunyai fokus untuk memproyeksikan perasaannya yang akan menyebabkan perasaan curiga terhadap orang lain dan lingkungannya. Proyeksi klien tersebut akan menimbulkan prilaku agresif sebagaimana yang muncul pada klien atau klien mungkin menggunakan mekanisme pertahanan yang lain seperti reaksi formasi melawan agresifitas, ketergantungan, afek tumpul, denial, menolak terhadap ketidaknyamanan.


Faktor predisposisi dari curiga adalah tidak terpenuhinya trust pada masa bayi. Tidak terpenuhinya karena lingkungan yang bermusuhan, orang tua yang otoriter, suasana yang kritis dalam keluarga, tuntutan lingkungan yang tinggi terhadap penampilan anak serta tidak terpenuhinya kebutuhan anak. Dengan demikian anak akan menggunakan mekanisme fantasi untuk meningkatkan harga dirinya atau dia akan mengembangkan tujuan yang tidak jelas.
Pada klien , dari data yang ditemukan faktor predisposisi dari prilaku curiga adalah gangguan pola asuh. Di dalan keluarga klien merupakan anak angkat dari keluarga yang pada saat itu belum memiliki anak. Klien menjadi anak kesayangan ayahnya, karena klien dianggap sebagai pembawa rejeki keluarga. Sejak kelahiran adik-adiknya ( 7 orang ) klien mulai merasa tersisih dan tidak diperhatikan, merasa tidak nyaman, sehingga klien merasa terancam dari lingkungan keluarganya. Sejak itu klien tidak percaya pada orang lain, sering marah-marah dan mengamuk sehingga klien dibawa oleh keluarganya ke RS jiwa.


B. Masalah-masalah yang muncul pada klien curiga.
Masalah yang biasanya timbul pada klien curiga karena adanya kecemasan yang timbul akibat klien merasa terancam konsep dirinya, kurangnya rasa percaya diri terhadap lingkungan yang baru/asing (masalah ini tidak muncul pada klien G). Masalah lain yang juga sering muncul pada klien curiga yaitu marah, timbul sebagai proyeksi dari keadaan ketidak adekuatan dari perasaan ditolak (masalah ini muncul pada klien ).
Isolasi sosial merupakan masalah yang juga muncul pada diri klien. Klien menarik diri akibat perasaan tidak percaya pada lingkungan . Curiga merupakan afek dari mekanisme koping yang tidak efektif, klien menunjukan bingung peran, kesulitan membuat keputusan, berprilaku destruktif dan menggunakan mekanisme pertahanan diri yang tidakl sesuai, dan masalah ini ada pada diri klien.
Masalah lain yang timbul adalah gangguan perawatan diri dan data yang diperoleh : klien berpenampilan tidak adekuat, dimana klien tidak mandi, tidak mau gosok gigi, rambut kotor dan banyak ketombe, kuku kotor dan panjang. (masalah ini ada pada diri klien)
Pada klien muncul juga gangguan harga diri rendah, dimana klien mempunyai pandangan negatif terhadap dirinya ditunjukkan dengan prilaku menarik diri atau menyerang orang lain.( masalah ini ada pada diri klien)
Potensial gangguan nutrisi, pada klien curiga biasanya mengira makanan itu beracun atau petugas mungkin sudah memasukkan obat-obatan ke dalam minumannya, akibatnya tidak mau makan - minum. (masalah ini tidak ada pada diri klien)

PELAKSANAAN PROSES KEPERAWATAN

Pelaksanaan proses keperawatan berorientasi pada masalah yang timbul pada klien. Pada bab ini akan menyampaikan secara singkat mengenai pelaksanaan proses keperawatan yang meliputi : Diagnosa Keperawatan, Tujuan jangka panjang, Intervensi, Evaluasi dan tindak lanjut. Adapun proses keperawatan secra lengkap ada pada lampiran.
Diagnosa keperawatan I
Potensial melukai diri sendiri/ orang lain s/d ketidak mampuan klien mengungkapkan marah secara konstruktif.
Tupan : Tidak melukai orang lain/ diri sendiri serta mampu mengungkapkan marah secara konstruktif.
Intervensi :
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien .
2. Memelihara ketengann lingkungan, suasana hangat dan bersahabat.
3. Mempertahan kan sikap perwat secara konsisten.
4. Mendorong klien untuk mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien marah.
5. Mendiskusikan dengan klien tentang tanda-tanda yang biasa terjadi pada orang yang sedang marah.
6. Mendorong klien untuk mengatakan cara-cara yang dilekukan bila klien marah.
7. Mendiskusikan dengan klien cara mengungkapkan marah secara konstruktif.
8. Mendiskusikan dengan keluarga ( pada saat kunjungan rumah ) ttg marah pada klien , apa yang sudah dilakukan bila klien marah dirumah bila klien cuti.
Evaluasi :
• Klien mau menerima petugas (mahasiswa ), dan membalas salam.
• Berespon secara verbal.
• Membalas jabat tangan, mau diajak berbicara.
• Klien mampu mengungkapkan penyebab marahnya.
• Klien dapat mengenal tanda-tanda marah.
• Klien megatakan kalau amuk itu tidak baik.
• Klien dapat memperagakan tehnik relaksasi.
Tindak lanjut :
• Melanjutkan untuk latihan marah yang konstruktif dengan tehnik relaksasi, tehnik asertif.
Diagnosa keperawatan II
Gangguan hubungan sosial; menarik diri sehubungan dengan curiga.
Intervensi :
1. Membina hubungan saling percaya.
2. Bersikap empati pada klien.
3. Mengeksplorasi penyebab kecurigaan pada klien .
4. Mengadakan kontak sering dan singkat.
5. Meningkat respom klien terhadap realita.
6. Memberikan obat sesuai dengan program terapi dan mengawasi respon klien.
7. Mengikut sertakan klien dalam TAK sosialisasi untuk berinteraksi.
Evaluasi :
• Klien mampu mengeksplorasi yang menyebabkan curiga.
• Klien disiplin dalam meminum obat sesuai program terapi.
Tindak lanjut:
• Teruskan untuk program sosialisasi/ interaksi klien untuk mengurangi kecurigaan.
Diagnosa Keperawatan III
Penampilan diri kurang s/d kurang minat dalam kebersihan diri.
Tupan : Penampilan klien rapih dan bersih serta klien mampu merawat kebersihan diri.
Intervensi :
1. Memperhatikan tentang kebersihan klien .
2. Mendiskusikan dengan klien ttg gunanya kebersihan.
3. Memberikan reinforsemen positif apa yang sudah dilakukan klien.
4. Mendorong klien untuk mengurus kebersihan diri.
Tindak lanjut :
• Perlu dilanjutkan dengan TAK tentang kegiatan sehari-hari.
• Berikan motivasi agar klien mau merawat diri.



http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
lihat artikel selengkapnya - ASKEP CURIGA

GANGGUAN PERSEPSI HALUSINASI DENGAR AKIBAT SKIZOFRENIA HEBEFRENIK

GANGGUAN PERSEPSI HALUSINASI DENGAR AKIBAT SKIZOFRENIA HEBEFRENIK:
ABSTRAK
viii, IV bab, 107 halaman, 1 tabel, 1 gambar, 8 lampiran

Karya tulis ini dilatar belakangi oleh tingginya angka kejadian gangguan jiwa skizofrenia hebefrenik yaitu sebanyak 229 klien (56,7 %) dari 404 klien. Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mendapatkan pengalaman secara langsung dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan persepsi halusinasi akibat skizofrenia hebefrenik dengan menggunakan tahapan proses keperawatan. Metode penulisan yang digunakan yaitu deskriptif analitik dalam bentuk studi kasus. Skizofrenia hebefrenik disebut juga skizofrenia disorganisasi dimana terjadi perubahan afek yang tidak sesuai, adanya perilaku regresi dan primitif, menarik diri secara ekstrim, komunikasi inkoherensia, dan sering dijumpai waham serta halusinasi dan ini akan berpengaruh terhadap kebutuhan dasar manusia.
Faktor pencetus disebabkan oleh biologis, psikologis dan sosial budaya. Dari hasil pengkajian didapatkan masalah dan dirumuskan kedalam diagnosa keperawatan yaitu resiko mencederai orang lain dan lingkungan, koping individu tidak efektif serta defisit perawatan diri. Tindakan yang dilakukan yaitu cara mengontrol halusinasi, menggunakan koping yang konstruktif dan meningkatkan motivasi perawatan diri. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5 hari, hampir semua masalah teratasi, kecuali 5 prinsip benar dalam penggunaan obat, klien baru sebagian mengingat nama dan dosis obat dikarenakan daya ingatnya sudah menurun akibat usia yang sudah lanjut. Untuk mengatasi hal tersebut Penulis melakukan koordinasi dengan perawat ruangan untuk tetap memberikan motivasi cara minum obat yang benar sesuai dengn jadwal yang telah dibuat dengan klien, selain itu Penulis menyarankan mengenai penyediaan ruangan untuk kegiatan Mahasiswa guna memperlancar pelaksanaan asuhan keperawatan serta perlunya memfasilitasi setiap klien dengan peralatan kebersihan diri.

Daftar Pustaka : 12 Buku ( 1993 – 2004 )




http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
lihat artikel selengkapnya - GANGGUAN PERSEPSI HALUSINASI DENGAR AKIBAT SKIZOFRENIA HEBEFRENIK

Selasa, 28 September 2010

Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum di RSUD

Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum di RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap wanita menginginkan persalinan berjalan lancar dan melahirkan bayi yang sempurna (Kasdu, 2003 : iii). Hal ini sesuai dengan Rencana Strategis Nasional yang terdapat dalam pesan kunci Making Pregnancy Safer (MPS) yaitu : setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapatkan pelayanan yang adekuat (Koesno, 2004 : 3 ). Namun, tidak jarang proses persalinan mengalami hambatan dan memerlukan penanganan dengan ekstraksi vakum.
Ekstraksi vakum merupakan tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi (Saifuddin, 2002 : 494). Tindakan ini dilakukan untuk semua keadaan yang mengancam ibu dan janin yang memiliki indikasi untuk menjalani pelahiran pervaginam dengan bantuan alat (Hartanto, 2005 : 536). Indikasi dan syarat dari tindakan ini antara lain : pada palpasi abdomen kepala tidak teraba (0/5) atau teraba (1/5) sedangkan pembukaan sudah lengkap, keterlambatan pada kala II yaitu lebih dari 60 menit pada primigravida dan 30 menit pada multigravida, dan Ibu yang menderita kelainan atau penyakit yang melarangnya untuk mengeran (mengedan), misalnya pada penyakit jantung, hipertensi, asma, atau tuberkulosis berat (Depkes RI, 1995 : 6).
Angka kejadian pertolongan persalinan dengan ekstraksi vakum di RSU Dr. Soedono Madiun tahun 1998 sebanyak 522 (22%) diantara 2362 persalinan dan angka kejadian bedah caesar sebanyak 419 (17%) (Kalbefarma). Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jendral Ahmad Yani Kota Metro didapatkan data pada tahun 2006 terdapat 7,99% (37) kasus persalinan dengan ekstraksi vakum dari 463 persalinan normal (Medical Record, 2006). Ini berarti tindakan ekstraksi vakum masih sering dilakukan.
Penanganan persalinan dengan ekstraksi vakum mempunyai dampak terhadap ibu dan bayi. Pada ibu dapat terjadi robekan pada serviks uteri, robekan pada dinding vagina dan perenium. Ini dapat terjadi apabila pada pembukaan belum lengkap dilakukan ekstraksi. Sedangkan pada bayi dapat terjadi perdarahan dalam otak dan kaput suksedaneum artifisialis yang akan hilang sendiri setelah 24-48 jam. Untuk mengatasi hal itu maka tindakan ekstraksi vakum sebaiknya dilakukan oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman (Depkes RI, 1995 : 10). Apabila tindakan ini dianggap tidak aman atau ekstraksi ini gagal dapat dilakukan seksio sesaria (Hartanto, 2005 : 551).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Gambaran Karakteristik Ibu Bersalin Dengan Ekstraksi Vakum di Rumah Sakit Umum Daerah Jendral Ahmad Yani Metro pada Tahun 2006”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimana gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum di RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro Tahun 2006 ?”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi ruang lingkup penelitian sebagai berikut:
1. Jenis penelitian : deskriptif.
2. Subyek penelitian : ibu bersalin dengan ekstraksi vakum di RSUD Jendral
Ahmad Yani Kota Metro tahun 2006.
3. Obyek penelitian : karakteristik ibu-ibu bersalin dengan ekstraksi vakum di RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro yang meliputi: riwayat penyakit ibu, usia, paritas, dan lama persalinan kala II.
4. Lokasi penelitian : ruang kebidanan di RSUD Jendral Ahmad Yani Kota
Metro tahun 2006.
5. Waktu penelitian : bulan Mei tahun 2007.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum di Ruang Kebidanan RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro pada tahun 2006.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum berdasarkan riwayat penyakit ibu di Ruang Kebidanan RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro tahun 2006.
b. Untuk mengetahui gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum berdasarkan usia ibu di Ruang Kebidanan RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro tahun 2006.
c. Untuk mengetahui gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum berdasarkan paritas ibu di Ruang Kebidanan RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro tahun 2006.
d. Untuk mengetahui gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum berdasarkan lamanya persalinan pada kala II di Ruang Kebidanan RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro tahun 2006.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Sebagai bahan informasi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang ekstraksi vakum dan karakteristik ekstraksi vakum dan karakteristiknya baik bagi ibu maupun bagi Prodi Kebidanan Metro.
2. Sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan mutu pelayanan Antenatal Care (ANC) khususya deteksi dini kehamilan dengan resiko tinggi yang dapat menyebabkan terjadinya persalinan dengan ekstraksi vakum bagi RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro dan Dinas Kesehatan Kota Metro pada khususnya serta tenaga kesehatan pada umumnya.
3. Mengembangkan pengetahuan penulis tentang ekstraksi vakum dan metode penelitian diskriptif tentang karakteristik resiko terjadinya persalinan dengan ekstraksi vakum.
4. Bagi peneliti lainnya, sebagai pertimbangan dan masukan untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang ekstraksi vakum dengan jenis penelitian lain dan penambahan variabel penelitian yang lebih lengkap, dan metode penelitian yang berbeda.

Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum di RSUD
lihat artikel selengkapnya - Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan ekstraksi vakum di RSUD

Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan di rumah bersalin

Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan di rumah bersalin

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kematian maternal adalah kematian wanita sewaktu hamil, melahirkan atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan atau penanganannya, tetapi tidak secara kebetulan atau oleh penyebab tambahan lainnya. Umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik buruknya keadaan pelayanan kebidanan dalam suatu negara atau daerah ialah kematian maternal (Prawirohardjo, 2005).
Angka Kematian Ibu (AKI) yang merupakan salah satu indikator terhadap kesehatan sebuah negara saat ini masih tinggi di Indonesia. Indonesia menduduki posisi tertinggi di ASEAN. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik adalah sebesar 262 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005. Perdarahan menjadi penyebab utama kematian ibu di Indonesia. Penyebab kedua adalah eklampsi lalu infeksi (Zoelkifly, 2007).
Selain tingginya Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi Baru Lahir di Indonesia juga tergolong tinggi yaitu mencapai 35/1000 kelahiran hidup atau 2 kali lebih besar dari target WHO (Depkes RI, 2007). Sedangkan Angka Kematian Bayi di Provinsi Lampung pada tahun 2003 adalah sebesar 55/1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2006). Kematian bayi baru lahir dapat diartikan jumlah anak yang tidak menunjukkan tanda-tanda hidup waktu dilahirkan ditambah dengan jumlah anak yang meninggal dalam minggu pertama dalam kehidupannya, untuk 1000 kelahiran. Penyebab kematian perinatal adalah prematuritas, kelainan kongenital, asfiksia neonatorum, insufisiensi plasenta, dan perlukaan kelahiran (Prawirohardjo, 2005).
Kehamilan cukup bulan berlangsung selama 37-42 minggu. Kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang umur kehamilannya lebih dari 42 minggu (Saifuddin, 2006). Frekuensi kejadian kehamilan lewat waktu berkisar 5-12% dengan dugaan bahwa sekitar 3-5% disertai dengan janin besar (Manuaba, 2007). Angka kematian perinatal dalam kehamilan lewat waktu 2-3 kali lebih besar bila dibandingkan dengan kehamilan cukup bulan (Sastrawinata, 2004).
Penyebab kehamilan lewat waktu dipengaruhi oleh berbagai faktor demografi ibu seperti paritas, riwayat kehamilan lewat waktu sebelumnya, status sosial ekonomi dan umur (Suheimi, 2007). Penyebab lain dari kehamilan lewat waktu adalah stres yang merupakan faktor tidak timbulnya his, selain kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta (Prawirohardjo, 2005).
Kehamilan lewat waktu dapat mengakibatkan terjadinya sindrom postmatur pada bayi baru lahir. Pada bayi dengan sindrom postmatur dapat terjadi hambatan pertumbuhan yang berat. Beberapa bayi yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak. Pada kehamilan lewat waktu juga dapat mengakibatkan disfungsi plasenta sehingga dapat terjadi penurunan oksigenasi janin. Terjadinya gawat janin merupakan konsekuensi kompresi tali pusat yang menyertai oligohidramnion (Cunningham, 2005).
Peningkatan resiko terkait dengan kehamilan lewat bulan diperkirakan berhubungan dengan insufisiensi uteroplasental, yang pada akhirnya menyebabkan hipoksia janin. Perlu diketahui bahwa volume cairan amnion menurun drastis pada beberapa minggu terakhir kehamilan. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kasus cairan bercampur mekonium kental (karena lebih sedikit cairan untuk melarutkan mekonium yang dikeluarkan), yang pada neonatus menimbulkan masalah pneumonia akibat aspirasi mekonium. Terjadi penurunan banyak lemak subkutan pada beberapa janin lewat bulan dan kemungkinan bayi mengalami makrosomia atau bayi besar (Varney, 2006). Kelahiran janin makrosomia pervaginam akan menimbulkan komplikasi maternal berupa trauma langsung persalinan pada jalan lahir, infeksi karena terbukanya jalan lahir secara luas sehingga mudah terjadi kontaminasi bakterial, serta perdarahan karena atonia uteri dan retensio plasenta (Manuaba, 2007).
Pra survey penulis di RSUD A. Yani Metro pada tanggal 20 Maret 2008 menunjukkan bahwa frekuensi kejadian kehamilan lewat waktu pada tahun 2007 mencapai 6,9% yaitu sebanyak 63 kasus dari keseluruhan jumlah persalinan sebanyak 916 persalinan. Di Rumah Bersalin Asih Metro pada tahun 2006 terdapat 672 persalinan dan 47 diantaranya adalah kehamilan lewat waktu atau sekitar 7%. Sedangkan pada tahun 2007 terdapat 723 persalinan dan 54 diantaranya adalah kehamilan lewat waktu atau sekitar 7,5%. Adapun gambaran keadaan bayi yang lahir dari ibu dengan kehamilan lewat waktu di Rumah Bersalin Asih Metro dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Keadaan Bayi Baru Lahir Dari Ibu Dengan Kehamilan Lewat Waktu di Rumah Bersalin Asih Metro Tahun 2006 dan 2007
No Keadaan Bayi Tahun 2006 Tahun 2007
Jumlah % Jumlah %
1. Normal 27 55,1 26 48,1
2. Asfiksia 21 42,9 26 48,1
3. BBLR 4 8,2 1 1,9
4. Meninggal 1 2,04 2 3,7
Jumlah bayi 49 54
Mengingat bahwa kehamilan lewat waktu dapat menimbulkan dampak baik bagi ibu maupun bayi, bahkan dapat meningkatkan angka kematian bayi baru lahir hingga 2-3 kali lebih besar dibandingkan dengan kehamilan normal, maka penulis ingin meneliti tentang gambaran karakteristik ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu di Rumah Bersalin Asih Metro tahun 2007.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran karakteristik ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu di Rumah Bersalin Asih Metro pada tahun 2007?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian yang dilaksanakan meliputi :
1. Sifat penelitian : Deskriptif
2. Subyek penelitian : Ibu atau pasien bersalin dengan kehamilan lewat waktu di Rumah Bersalin Asih Metro
3. Obyek penelitian : Karakteristik ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu
4. Lokasi penelitian : Rumah Bersalin Asih Metro
5. Waktu penelitian : Juni-Agustus 2008

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui karakteristik ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya umur ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu.
b. Diketahuinya paritas ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu.
c. Diketahuinya pendidikan ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu.
d. Diketahuinya gambaran ekonomi/pekerjaan ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu.
e. Diketahuinya cara penanganan persalinan ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Peneliti
Menambah wawasan dan pengalaman tentang karakteristik ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu serta sebagai penerapan ilmu yang telah di dapat pada Program Studi Kebidanan Metro khususnya dalam bidang metodologi penelitian.
2. Lokasi Penelitian
Sebagai bahan masukan mengenai karakteristik ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap ibu bersalin dengan kehamilan lewat waktu.
3. Program Studi Kebidanan Metro
Sebagai bahan bacaan bagi perpustakaan di Program Studi Kebidanan Metro.

Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan di rumah bersalin
lihat artikel selengkapnya - Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan di rumah bersalin

Gambaran kadar hemoglobin ibu hamil di puskesmas

Gambaran kadar hemoglobin ibu hamil di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penderita anemi di Indonesia sangat besar, sehingga anemia merupakan penyebab utama angka kematian ibu di Indonesia. Upaya mencegahnya dapat dilakukan dengan mengetahui sejak dini apakah seseorang tersebut anemia atau tidak. Menurut World Health Organization (WHO) kejadian anemia pada ibu hamil berkisar antara 20%-89% dengan menetapkan hemoglobin (Hb) 11 gr % sebagai dasarnya. (Manuaba,1998).
Angka anemia kehamilan di Indonesia menunjukkan nilai yang cukup tinggi yang berkisar 20 %-80%, tetapi pada umumnya banyak penelitian yang menunjukkan prevalensi anemi pada wanita hamil yang lebih besar dari 50%. Pemerintah telah berusaha melakukan tindakan pencegahan dengan memberikan tablet tambah darah (tablet Fe) pada ibu hamil yang dibagikan pada waktu mereka memeriksaan kehamilan, akan tetapi prevalensi anemi pada kehamilan masih juga tinggi.Pemeriksaan kadar hemoglobin yang dianjurkan dilakukan pada trimester pertama dan ketiga kehamilan sering kali hanya dapat dilaksanakan pada trimester ketiga saja karena kebanyakan ibu hamil baru memeriksakan kehamilannya pada trimeser kedua kehamilan, sehingga penanganan anemia pada kehamilan menjadi terlambat dengan akibat berbagai komplikasi yang mungkin terjadi karena anemia. Kriteria anemia yang digunakan sesuai dengan kriteria WHO yaitu 11 gr%. (hptt/:www.anemia.net.id)
Berdasarkan data survei kesehatan nasional 2001, angka anemia pada ibu hamil sebesar 40,1 % kondisi ini menunjukkan bahwa anemia cukup tinggi di Indonesia. Bila diperkirakan pada 2003-2010 prevalensi anemi masih tetap di atas 40 %, maka akan terjadi kematian ibu sebanyak 18 ribu pertahun yang disebabkan perdarahan setelah melahirkan. Ini kondisi dengan estimasi 3-7 % itu meninggal karena menderita anemia berat dan sebesar 20-40 % ibu meninggal karena penyebab tak langsung anemia. Dari kadar hemoglobin dapat digolongkan anemia ringan, anemia sedang dan anemia berat. (hptt/:www.anemi.net.id).
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Lampung Timur (2005), kematian ibu terdapat 18 orang yang terdiri dari 9 orang disebabkan karena perdarahan, 4 orang yang eklamsi, 2 orang karena emboli air ketuban, 1 orang karena solusio plasenta, 2 orang dengan dekompensasi kordis serta 1 orang terkena infeksi akibat ditolong oleh dukun. Laporan yang didapat dari puskesmas-puskesmas yang terdapat di Lampung Timur sasaran ibu hamil tahun 2005 berjumlah 24039 orang. Banyaknya ibu hamil pada Kunjungan pertama sebanyak 21298 orang sedang Kunjungan ke-4 sebanyak 20661 orang. Dari jumlah keseluruhan, 19231 ibu hamil yang dilakukan pemeriksaan Hb, dan di dapat 40 % ibu hamil yang ditemukan anemi. Kebijakan pemerintah setempat yang diberikan bagi ibu hamil baik yang beresiko maupun yang tidak beresiko selain pemeriksaan Hb dua kali selama kehamilan untuk mendeteksi adanya anemi, tenaga kesehatan terutama bidan harus dapat juga memberikan penyuluhan tentang anemi diposyandu, pemberian Fe, pemberian suplement makanan tambahan pada ibu hamil yang beresiko yang diberikan oleh petugas gizi, dan memberikan susu ibu hamil dan dasabion.
Berdasarkan data jumlah ibu hamil dari laporan Puskesmas Pekalongan dari bulan Januari sampai Desember 2005 terdapat ibu hamil yang menderita anemi salama kehamilan .. ibu hamil, dan jumlah bumil sejak bulan Januari sampai Maret 2006 di Desa Adirejo kecamatan Pekalongan terdapat … ibu hamil. Dari data tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Kadar Hb ibu hamil di desa Adirejo kecamatan Pekalongan”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah gambaran kadar hemoglobin Ibu hamil di Desa Adirejo kecamatan Pekalongan Lampung Timur ?”

C. Ruang Lingkup
1. Sifat Penelitian : Penelitian Diskriptif
2. Subyek penelitian : Ibu Hamil yang terdapat di Desa Adirejo Kecamatan Pekalongan
3. Objek penelitian : Gambaran Kadar Hemoglobin Ibu Hamil
4. Lokasi penelitian : Desa Adirejo Kecamatan Pekalongan Lampung Timur
5. Waktu penelitian : April – Mei 2006

D. Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran kadar hemoglobin ibu hamil di Desa Adirejo Kecamatan Pekalongan Lampung Timur.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, khususnya sebagai bahan refrensi dan dokumentasi diperpustakaan Program Studi Kebidanan Metro.
2. Bagi Puskesmas
Sebagai bahan masukan bagi bidan di Desa Adirejo Kecamatan Pekalongan agar dapat melaksanakan pemeriksaan Hb terhadap ibu hamil dan dapat meningkatkan pelaksanaan dalam pemeriksaan Hb secara optimal sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan.

Gambaran kadar hemoglobin ibu hamil di puskesmas
lihat artikel selengkapnya - Gambaran kadar hemoglobin ibu hamil di puskesmas

Gambaran kadar hemoglobin (Hb) pada akseptor intra uterine devices (IUD) di kelurahan

Gambaran kadar hemoglobin (Hb) pada akseptor intra uterine devices (IUD) di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tinggi walaupun di sisi lain sudah terjadi penurunan dari 307/100.000 kelahiran hidup (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002/2003) menjadi 262/100.000 kelahiran hidup (laporan BPS 2005). Penyebab kematian ibu, sesuai penelitian beberapa pihak, paling banyak akibat perdarahan dan penyebab tidak langsung lainnya seperti terlambat mengenali tanda bahaya karena tidak mengetahui kehamilannya dalam risiko yang cukup tinggi, terlambat mencapai fasilitas untuk persalinan dan terlambat untuk mendapatkan pelayanan. Selain itu, terlalu muda punya anak, terlalu banyak melahirkan, terlalu rapat jarak melahirkan dan terlalu tua punya anak (Sri, 2003).
Keluarga berencana adalah suatu program pemerintah atas dasar sukarela untuk mencapai keluarga sejahtera dalam rangka pembangunan yang lebih luas. Peserta KB yang berdampak terhadap penurunan kelahiran adalah peserta KB yang menggunakan alat atau cara kontrasepsi dengan tingkat kelangsungan pemakaian yang tinggi baik untuk tujuan penundaan kelahiran anak pertama, penjarangan atau mengakhiri kehamilan (Irianto, 2004).
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan (Prawirohardjo, 2005). Salah satu sasaran dari pelayanan obstetri adalah memperbaiki karakteristik wanita hamil sehingga dapat menurunkan golongan risiko tinggi. Usaha keluarga berencana (penggunaan kontrasepsi) dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini, misalnya mengurangi primi muda, grande multi atau mengatur jarak antara dua kehamilan (Irianto, 2004).
Penggunaan IUD merupakan salah satu usaha manusia untuk menekan kesuburan sejak berabad-abad yang lampau (Prawirohardjo, 2005). Kontrasepsi yang kerap disebut spiral ini awet hingga pemakaian lima tahun, dan mampu meninggikan getaran sel telur. Efek getaran spiral menimbulkan reaksi jaringan yang menyebabkan terhambatnya proses pembuahan (Handoko, 2001).
Di Indonesia, anemia gizi masih merupakan masalah gizi utama dan terus diperbaiki secara berkelanjutan. Data terakhir menunjukkan prevalensi anemia gizi besi masih tinggi, ibu hamil (63,5%), balita (55,5%), anak usia sekolah (20-40%), wanita dewasa (30-40%), pekerja berpenghasilan rendah (30-40%), dan pria dewasa (20-30%) (Harli, 1999).
Wanita yang menggunakan KB IUD pun tak lepas dari anemia. Sebuah penelitian menyebutkan 10 persen wanita pada masa reproduksinya mengalami defisiensi zat besi dan 2-5 persen diantaranya mengalami anemia. Berdasarkan data The Population Council, New Drug Application pada Oktober 1990 sampai dengan Agustus 1991 bahwa angka kejadian perdarahan dari pemakaian IUD adalah 36,0 per 100 pemakai IUD. Meningkatnya perdarahan pada masa haid yang sering disertai dengan rasa sakit pada perut bagian bawah yang berdampak timbulnya anemia (hemoglobin kurang dari 9 g/dl atau hematokrit kurang dari 30% merupakan penyebab utama pencabutan IUD (JNPKKS, 2000).
Berdasarkan data dari BKKBN Propinsi Lampung tahun 2006 bahwa jumlah peserta KB IUD sebanyak 125.360 (10,28%) dari 1.219. 188 peserta KB (Dinkes, 2006a). Berdasarkan data BKKCS-KB Kota Metro tahun 2006 bahwa jumlah peserta KB IUD sebanyak 2.983 (13,44%) dari 22.191 peserta KB (Dinkes, 2006b).
Dampak dari perdarahan secara rutin atau terus menerus adalah anemia. Sebelum terjadi anemia, tubuh melakukan adaptasi agar tidak terjadi penurunan daya tahan tubuh. Saat tubuh tidak mampu lagi melakukan adaptasi, daya tahan tubuh akan mengalami penurunan sehingga dapat terjadi anemia. Salah satu kemungkinan terjadinya dari anemia adalah penurunan kadar Hb. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan tanggal 21 Mei 2008 bahwa jumlah peserta KB di Kelurahan Rejo Mulyo Metro Selatan berjumlah 657 (76,93%) dari 854 PUS. Jumlah akseptor IUD sebanyak 86 (13,09%) dari 657 peserta KB, ditemukan 9 akseptor mengalami perdarahan bercak (spotting) atau haid lama, 7 akseptor (77,78%) memiliki kadar Hb normal, sedangkan 2 akseptor (22,22%) memiliki kadar Hb dibawah normal.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran kadar Hb pada akseptor IUD di Kelurahan Rejo Mulyo Metro Selatan tahun 2008.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : ”Bagaimanakah gambaran kadar hemoglobin (Hb) pada akseptor Intra Uterine Devices (IUD) di Kelurahan Rejo Mulyo Metro Selatan tahun 2008 ?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini sebagai berikut :
1. Jenis penelitian : Deskriptif
2. Obyek penelitian : Kadar Hb
3. Subyek penelitian : Akseptor IUD
4. Lokasi penelitian : Kelurahan Rejo Mulyo Metro Selatan
5. Waktu penelitian : 5 Juni s.d 20 Juni 2008

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran kadar Hb pada akseptor IUD di Kelurahan Rejo Mulyo Metro Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya kadar Hb pada akseptor IUD ditinjau dari jenis IUD yang digunakan di Kelurahan Rejo Mulyo Metro Selatan.
b. Diketahuinya kadar Hb pada akseptor IUD ditinjau dari lama pemakaian IUD di Kelurahan Rejo Mulyo Metro Selatan.
c. Diketahuinya kadar Hb pada akseptor IUD ditinjau dari lama haid setelah pemasangan IUD di Kelurahan Rejo Mulyo Metro Selatan.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Sumbersari Bantul Metro Selatan
Diharapkan dapat menjadi bahan informasi khususnya bagi tenaga kesehatan tentang keluarga berencana terutama alat kontrasepsi IUD.
2. Bagi Institusi Program Studi Kebidanan Metro
Diharapkan dapat menjadi dokumen dan bahan tambahan sumber bacaan bagi mahasiswa Program Studi Kebidanan Metro.
3. Bagi Peneliti Lainnya
Diharapkan menjadi sumber informasi/bacaan acuan bagi peneliti lain di masa mendatang.

Gambaran kadar hemoglobin (Hb) pada akseptor
intra uterine devices (IUD) di kelurahan
lihat artikel selengkapnya - Gambaran kadar hemoglobin (Hb) pada akseptor intra uterine devices (IUD) di kelurahan

Gambaran ibu hamil dengan kekurangan energi kronis di wilayah kerja puskesmas

Gambaran ibu hamil dengan kekurangan energi kronis di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Paradigma pembangunan kesehatan baru merupakan paradigma sehat yang berupaya untuk lebih meningkatkan kesehatan bangsa yang bersifat proaktif. Paradigma tersebut merupakan model pembangunan kesehatan jangka panjang, yang mampu mendorong masyarakat untuk bersikap mandiri dalam menjaga kesehatan melalui kesadaran yang lebih tinggi pada pentingnya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif (Dep.Kes.RI, 1993).
Tujuan pembangunan dibidang kesehatan yaitu mewujudkan manusia yang sehat, cerdas dan produktif, untuk mencapai tujuan tersebut titik berat perhatian pemerintah dalam membangun manusia Indonesia terletak pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peranan pangan dan gizi dalam hal ini menjadi sangat penting, karena merupakan faktor mendasar yang secara langsung sangat menentukan kualitas sumber daya manusia dan tingkat kehidupan masyarakat pada umumnya (Dep.Kes.RI, 1995).
Pembangunan sumber daya manusia belum menunjukkan hasil menggembirakan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia menempati urutan ke 111 dari 177 negara (UNDP, 2004). Peringkat ini lebih rendah dibandingkan peringkat IPM negara-negara tetangga. Rendahnya IPM ini tak luput dari faktor rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia (www.republika.co.id, 2006).
Gizi merupakah salah satu penentu kualitas SDM, kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktifitas kerja dan daya tahan tubuh, yang berakibat meningkatnya kesakitan dan kematian. Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu, sejak janin yang masih didalam kandungan, bayi, anak-anak, remaja dewasa sampai usia lanjut. Ibu atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup sehingga harus dijaga status gizi dan kesehatannya, agar dapat melahirkan bayi yang sehat (Dep.Kes RI, 2003).
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Balita (AKB) di Indonesia masih tinggi yaitu AKI sebesar 307/100.000 kelahiran hidup, AKB sebesar 35/1.000 kelahiran hidup (UNDP, 2001) sedangkan Propinsi Lampung AKI sebesar 307/100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 55/1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2004). Tingginya AKI di Indonesia menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program prioritas. Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia seperti halnya negara lain adalah perdarahan, infeksi dan eklamsi, hanya sekitar 5% kematian ibu disebabkan oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis. Keadaan ibu sejak pra hamil juga dapat berpengaruh terhadap kehamilannya. Penyebab tak langsung kematian ibu antara lain anemia, Kurang Energi Kronis (KEK) dan “4 terlalu” (terlalu muda/tua, sering dan banyak) (Saifuddin, 2002).
Di Indonesia masih ditemui masalah gizi yang terjadi pada ibu hamil antara lain ibu hamil yang menderita KEK (Lingkar Lengan Atas < 23,5 cm) masih tinggi yaitu 35% dari hasil survei yang dilakukan terhadap ibu hamil pasca sensus tahun 1994 dan 24% dari hasil survei kesehatan tahun 1995 (Dep.Kes.RI, 1995). Masalah gizi ini tidak hanya menyangkut aspek kesehatan saja, melainkan aspek-aspek terkait yang lain seperti tingkat pendidikan, pengetahuan, tingkat penghasilan keluarga dan sebagainya. Oleh sebab itu, penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapi tidak hanya diarahkan kepada gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga kearah bidang-bidang yang lain misalnya pemberian makanan tambahan, perbaikan ekonomi keluarga, peningkatan pengetahuan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan data pra survei yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Metro mengenai laporan Ibu Hamil Gizi Buruk (KEK) pada bulan Januari – Maret tahun 2006 diseluruh Puskesmas Kota Metro adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Laporan Triwulan Ibu Hamil Gizi Buruk (KEK) di Seluruh Puskesmas Kota Metro
Puskesmas Jumlah Bumil Bulan Total %
Januari Februari Maret
Metro 501 3 3 3 9 20
Yosomulyo 586 1 1 1 3 6,67
Banjarsari 500 9 3 8 20 44,44
Iringmulyo 696 - - - - -
Bantul 289 - - 3 3 6,67
Ganjar Agung 473 - 6 4 10 22,22
Jumlah 3045 13 13 19 45 100
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Metro, 2006
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa angka kejadian ibu hamil dengan KEK paling tinggi sebesar 44,44% di Puskesmas Banjarsari.
Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai resiko kesakitan lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu hamil normal. Akibatnya mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kematian saat persalinan, perdarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Dep.Kes.RI, 1996).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Ibu Hamil dengan Kekurangan Energi Kronis di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Tahun 2006”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran Ibu Hamil dengan Kekurangan Energi Kronis di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Tahun 2006” .

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang Gambaran Ibu Hamil dengan Kekurangan Energi Kronis di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Tahun 2006.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Diperolehnya gambaran ibu hamil dengan kekurangan energi kronis berdasarkan tingkat pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Tahun 2006.
b. Diperolehnya gambaran ibu hamil dengan kekurangan energi kronis berdasarkan pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Tahun 2006.
c. Diperolehnya gambaran ibu hamil dengan kekurangan energi kronis berdasarkan tingkat penghasilan keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Tahun 2006.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Deskriptif.
2. Subyek Penelitian : Ibu hamil dengan Kekurangan Energi Kronis
3. Objek Penelitian : Gambaran ibu hamil : tingkat pendidikan, pengetahuan dan tingkat penghasilan keluarga.
4. Lokasi Penelitian : Wilayah Kerja Puskesmas Banjar Sari Kecamatan Metro Utara
5. Waktu Penelitian : Bulan April – Mei 2006

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, khususnya sebagai bahan referensi dan dokumen di Perpustakaan Prodi Kebidanan Metro.
2. Bagi Puskesmas Banjar Sari
Diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi tenaga kesehatan yang ada.

Gambaran ibu hamil dengan kekurangan energi kronis
di wilayah kerja puskesmas

lihat artikel selengkapnya - Gambaran ibu hamil dengan kekurangan energi kronis di wilayah kerja puskesmas

TIDAK MENEMUKAN YANG DICARI GUNAKAN KOTAK PENCARIAN: